1. Negatif thinking.
Misalnya, kalau pas lagi jalan sendiri, lalu ada yang tanya (teman
kerja atau teman sekolah lain jurusan), “Kok sendiri?” Langsung deh
reaksinya seperti ini: “Sudah tahu sendiri, pakai tanya-tanya.
Mentang-mentang gua jomblo. Ngenye, ya.” Atau, suatu kali ngelihat ada orang lain yang ngelihatin: “Kenapa sih lihat-lihat?! Aneh ya, karena gua jomblo. Dasar, tablo (tampang bloon) luh!!!” Padahal, “Kok sendiri?” itu kan pertanyaan standar orang yang pengen tanya tapi nggak tahu mau tanya apa. Just basa-basi. Nggak ada maksud apa-apa. Malah kalau tanyanya “Kok berdua?” atau “Sama siapa?” jadi aneh bin konyol. Lha, sudah jelas sendiri pakai tanya “Kok berdua?” atau “Sama siapa?” segala. Begitulah kalau sudah dikuasai pikiran negatif. Segala sesuatu disikapi secara negatif. Ibarat orang pakai kacamata hitam. Semua yang dilihatnya serba hitam. Lalu bagaimana dong mengatasinya? Tidak ada cara lain, ganti kacamatanya dengan kacamata yang lebih terang. Jangan salahkan obyek yang dilihat.
Misalnya, kalau pas lagi jalan sendiri, lalu ada yang tanya (teman
kerja atau teman sekolah lain jurusan), “Kok sendiri?” Langsung deh
reaksinya seperti ini: “Sudah tahu sendiri, pakai tanya-tanya.
Mentang-mentang gua jomblo. Ngenye, ya.” Atau, suatu kali ngelihat ada orang lain yang ngelihatin: “Kenapa sih lihat-lihat?! Aneh ya, karena gua jomblo. Dasar, tablo (tampang bloon) luh!!!” Padahal, “Kok sendiri?” itu kan pertanyaan standar orang yang pengen tanya tapi nggak tahu mau tanya apa. Just basa-basi. Nggak ada maksud apa-apa. Malah kalau tanyanya “Kok berdua?” atau “Sama siapa?” jadi aneh bin konyol. Lha, sudah jelas sendiri pakai tanya “Kok berdua?” atau “Sama siapa?” segala. Begitulah kalau sudah dikuasai pikiran negatif. Segala sesuatu disikapi secara negatif. Ibarat orang pakai kacamata hitam. Semua yang dilihatnya serba hitam. Lalu bagaimana dong mengatasinya? Tidak ada cara lain, ganti kacamatanya dengan kacamata yang lebih terang. Jangan salahkan obyek yang dilihat.
2. Citra diri yang negatif
“Siapalah saya ini. Tampang pas-pasan. Nggak bisa apa-apa pula. Otak belet, lha nilai rata-rata rapor saja hampir tidak pernah bergeser dari 65-75. Dapet 80 keatas tuh untung. Mana ada yang mau sama saya. Seandainya saya jadi orang lain pun, nggak bakalan kok saya mau
punya pacar kayak diri saya begini.” Padahal gambaran kita tentang diri kita sendiri akan sangat
berpengaruh terhadap pikiran, perasaan dan sikap hidup kita. Ibarat makanan bagi tubuh kita, citra diri akan sangat menentukan; apakah kita akan menjadi pribadi yang optimistis, percaya diri, punya semangat hidup. Atau sebaliknya, menjadi pribadi yang pesimistis, rendah diri, loyo alias nggak punya semangat hidup.
“Siapalah saya ini. Tampang pas-pasan. Nggak bisa apa-apa pula. Otak belet, lha nilai rata-rata rapor saja hampir tidak pernah bergeser dari 65-75. Dapet 80 keatas tuh untung. Mana ada yang mau sama saya. Seandainya saya jadi orang lain pun, nggak bakalan kok saya mau
punya pacar kayak diri saya begini.” Padahal gambaran kita tentang diri kita sendiri akan sangat
berpengaruh terhadap pikiran, perasaan dan sikap hidup kita. Ibarat makanan bagi tubuh kita, citra diri akan sangat menentukan; apakah kita akan menjadi pribadi yang optimistis, percaya diri, punya semangat hidup. Atau sebaliknya, menjadi pribadi yang pesimistis, rendah diri, loyo alias nggak punya semangat hidup.
3. Rumput di halaman rumah tetangga kelihatan
lebih hijau.
“Duh,enak nian punya pacar kayak die. Kemana-mana ada yang nemenin. Ada yang perhatiin and diperhatiin. Adashoulder to cry on. Malam minggu nggak cengo sendiri di rumah. Lonely. Bisa ngerasain dag dig dug serrr tiap nunggu doi. Kapan pun dan dimana pun ada yan g selalu bisa di-call. Pokoknya asyik deh.” Jadi nganggepnya hidup orang lain tuh lebih enak, lebih baik, lebih nikmat, lebih segalanya. Lalu kita berandai-andai; seandainya hidup kita kayak hidup dia, dunia kita kayak dunia dia. Seolah kita nih baru bahagia kalau kayak dia. Kita jadi kurang bersyukur dengan hidup kita sendiri. Padahal, mana ada sih orang yang hidupnya selalu senang. Seperti kata pepatah Belanda, setiap orang tuh punya salib. Siapa pun pastilah punya senang dan susahnya sendiri. Punya pacar pun nggak melulu enak kok. Kadang ada sebalnya. Kadang bisa bikin jengkel and stress juga. So, jangan heran kalau yang sudah punya pacar pun bisa mikir begini: “Duh, enak nian ngejomblo. Bebas sebebas burung di udara. Asyike seasyik ikan di laut.”
“Duh,enak nian punya pacar kayak die. Kemana-mana ada yang nemenin. Ada yang perhatiin and diperhatiin. Adashoulder to cry on. Malam minggu nggak cengo sendiri di rumah. Lonely. Bisa ngerasain dag dig dug serrr tiap nunggu doi. Kapan pun dan dimana pun ada yan g selalu bisa di-call. Pokoknya asyik deh.” Jadi nganggepnya hidup orang lain tuh lebih enak, lebih baik, lebih nikmat, lebih segalanya. Lalu kita berandai-andai; seandainya hidup kita kayak hidup dia, dunia kita kayak dunia dia. Seolah kita nih baru bahagia kalau kayak dia. Kita jadi kurang bersyukur dengan hidup kita sendiri. Padahal, mana ada sih orang yang hidupnya selalu senang. Seperti kata pepatah Belanda, setiap orang tuh punya salib. Siapa pun pastilah punya senang dan susahnya sendiri. Punya pacar pun nggak melulu enak kok. Kadang ada sebalnya. Kadang bisa bikin jengkel and stress juga. So, jangan heran kalau yang sudah punya pacar pun bisa mikir begini: “Duh, enak nian ngejomblo. Bebas sebebas burung di udara. Asyike seasyik ikan di laut.”
4. Berselubung topeng
Nggak jujur dengan diri sendiri. Nggak apa adanya. Contoh 1 (gayaselebritis: kemayu, dengan sikap bertutur diatur): “Aku emang belum mau pacaran kok. Suer. Masih ingin sendiri.” – Yang
sebenarnya: aku belum ketemu yang aku mau dia mau. Adanya aku mau dia nggak mau, dia mau akunya nggak mau. Ada yang aku mau dia mau, eh dia maunya mau nabok sama aku. Padahal apa salahnya bilang, “Aku bukannya nggak kepengen, tapi belum ketemu yang pas.” Titik. Kalau bilangnya: belum mau pacaran, masih ingin sendiri – besok atau lusa ternyata ketemu yang cocok. Nah, luh baru nyaho. Malu kanmesti ngejilat ludah kuda (kalau ludah sendiri sudah
biasa:).
Nggak jujur dengan diri sendiri. Nggak apa adanya. Contoh 1 (gayaselebritis: kemayu, dengan sikap bertutur diatur): “Aku emang belum mau pacaran kok. Suer. Masih ingin sendiri.” – Yang
sebenarnya: aku belum ketemu yang aku mau dia mau. Adanya aku mau dia nggak mau, dia mau akunya nggak mau. Ada yang aku mau dia mau, eh dia maunya mau nabok sama aku. Padahal apa salahnya bilang, “Aku bukannya nggak kepengen, tapi belum ketemu yang pas.” Titik. Kalau bilangnya: belum mau pacaran, masih ingin sendiri – besok atau lusa ternyata ketemu yang cocok. Nah, luh baru nyaho. Malu kanmesti ngejilat ludah kuda (kalau ludah sendiri sudah
biasa:).
Contoh 2
(gayapolitisi: kemaki, dengan sikap bertutur nggak teratur): “Gue naksir die?!
Idihh, amit-amit. Sorry ya, dibayar goceng pun nggak bakalan gue ambil!” – Yang
sebenarnya: aku sih okelah sama die, tapi dienya cuek banget. Benci deh aku
(dengan gayagenit ala Pelawak Tessi). Padahal apa salahnya bilang, “Dianya cuek
begitu, mana berani gue.” Titik. Kalau bilangnya: amit-amit, dibayar goceng pun
gua gak bakalan ambil – dan ternyata dia tuh naksir sama kita, cuma karena dia
punya “kemaluan” gede (baca: pemalu) jadinya dia pasang sikap cuek bebek. Sok
cool. Nah, gimana coba kalau begitu?! Masak mau ikut-ikut si selebritis: ngejilat
ludah kuda. So, tanggalkan topeng itu. Apa adanya sajalah. Tapi ya, jangan
vulgar, mengobral atau norak. Jujur dengan elegan gitulah.
5. Hanyut terbawa perasaan
Nelangsa. Merasa kasihan pada diri sendiri. Seakan dengan ke-jomblo-an itu, dia menjadi orang yang paling malangdi dunia. Makan jadi nggak enak (apalagi sayurnya sudah basi, kurang garam pula), tidur nggak nyenyak (AC mati nggak ada listrik, banyak nyamuk lagi). Nyanyinya pun lagu Chrisye: “Di malam yang sesunyi ini aku sendiri, tiada yang menemani…… srot, srot (nyedot ingus). Akhirnya kini kusadari dia telah pergi tinggalkan diriku….. pufz, pufz (buang
ingus pakailengan baju). Nanini nananininani ninaneniii (bagian ini nggak hafal). Reff: Mengapa terjadi pada diriku, aku tak percaya kau telah tiada…. hiks, hiks (terisak). Haruskah ku pergi tinggalkan dunia….. huuaaahh, huaaahh (nangis sejadi-jadinya).” Selanjutnya no comment deh. Bukan apa-apa, saya takut ikut-ikut sedih, ikut-ikut nangis, ikut-ikut sedot ingus. Malah repot. Lagian, orang yang lagi terhanyut oleh aneka rupa perasaan susah dan sedih sebetulnya kan nggak butuh kata-kata; ia lebih butuh empati dan simpati. Saya cuma mau bilang: “You’ll never walk alone, Jomblo (ngutip lagu yang biasa dinyanyiin fans kesebelasan Inggris). Kan banyak juga yang jomblo hehehe:).”
Nelangsa. Merasa kasihan pada diri sendiri. Seakan dengan ke-jomblo-an itu, dia menjadi orang yang paling malangdi dunia. Makan jadi nggak enak (apalagi sayurnya sudah basi, kurang garam pula), tidur nggak nyenyak (AC mati nggak ada listrik, banyak nyamuk lagi). Nyanyinya pun lagu Chrisye: “Di malam yang sesunyi ini aku sendiri, tiada yang menemani…… srot, srot (nyedot ingus). Akhirnya kini kusadari dia telah pergi tinggalkan diriku….. pufz, pufz (buang
ingus pakailengan baju). Nanini nananininani ninaneniii (bagian ini nggak hafal). Reff: Mengapa terjadi pada diriku, aku tak percaya kau telah tiada…. hiks, hiks (terisak). Haruskah ku pergi tinggalkan dunia….. huuaaahh, huaaahh (nangis sejadi-jadinya).” Selanjutnya no comment deh. Bukan apa-apa, saya takut ikut-ikut sedih, ikut-ikut nangis, ikut-ikut sedot ingus. Malah repot. Lagian, orang yang lagi terhanyut oleh aneka rupa perasaan susah dan sedih sebetulnya kan nggak butuh kata-kata; ia lebih butuh empati dan simpati. Saya cuma mau bilang: “You’ll never walk alone, Jomblo (ngutip lagu yang biasa dinyanyiin fans kesebelasan Inggris). Kan banyak juga yang jomblo hehehe:).”
6. Memaksakan kehendak.
Cara halus:
Cara halus:
“Hi, cowok, godain
kita dong!” (ekstrim: sambil melotot, satu tangan berkacak pinggang satu tangan
lagi menggenggam batu siap ditimpukin). Atau, “Hi, cewek, kita godain ya!”
(ekstrim: sambil memiting seorang nenek yang kebetulan lewat, dan menodongkan
pistol ke keningnya).
Cara kasar:
“Apa pun yang
terjadi gua harus dapetin doi; biar gunung-gunung beranjak dan bukit-bukit bergoyang.
Pokoknya harus dan kudu!”
Cara ekstrim:
Bayar segerombolan
preman untuk menculik doi, lalu dengan gaya kungfu Bruce Li datang
menyelamatkannya. Atau, “Saya nggak bisa hidup tanpa doi. Sudahlah, saya mau
mati saja!
Mana tali, mana tali! Saya mau gantung diri!.” “Bunda, hidup ini kejam. Kembalikan saja aku ke dalam rahimmu!” – (segede gitu, gimana masukinnya ya?!”)
Mana tali, mana tali! Saya mau gantung diri!.” “Bunda, hidup ini kejam. Kembalikan saja aku ke dalam rahimmu!” – (segede gitu, gimana masukinnya ya?!”)
Dan kalau berdoa
doanya begini: “Tuhan, kalau dia jodoh saya, dekatkanlah. Kalau dia bukan jodoh
saya, jodohkanlah. Tapi kalau dia nggak bisa jadi jodoh saya, biarkan dia
ngejomblo seumur hidup. Amin.” Padahal segala sesuatu yang dipaksakan – apalagi
soal jodoh – pasti akan lebih banyak buruknya daripada baiknya. Usaha tentunya
nggak salah, punya keinginan mangga silahkan. Tapi iringilah itu dengan
penyerahan diri kepada Sang Khalik: “Bukan hendakku yang jadi, melainkan kehendak-Mu!”
Dengan berusaha dan berserah, hidup akan terasa lebih ringan. Tuhan tahu apa
yang terbaik buat diri kita. Percaya deh.
7.
Sirik.
Orang Manado
bilang mangiri. Alias iri dengki. Nggak senang ngelihat orang lain senang.
Senangnya ngejelek-jelekin dan ngecil-ngecilin kebaikan orang lain. “Alaaa, dia
sih piala bergilir. Lihat aja, bentar lagi juga dia akan pindah ke pelukan
cowok laen. Gua sih amit-amit dapetin dia!” “Eh elu tahu nggak, dia itu
kanbekas pacarnya teman sodara teman gue. Nah, kata teman gue, temen gue dari
sodaranya, sodaranya dari temennya yang mantan dia itu, dia pernah terlibat
narkoba tuh. Pernah digerebek polisi segala. Ortunya sampai jual rumahnya untuk
bebasin dia dari penjara.” Padahal ke-sirik-an hanya akan membuat kita makin
buruk di mata orang lain. Dan pasti di mata Tuhan juga. Nggak ada faedahnya.